Selasa, 07 April 2009

Feature

Feature

Kaus oblong dan celana pendek yang kotor menjadi pakaian yang paling layak pakai bagi si kembar Udin dan Oji. Wajah mereka dikotori oleh ingus yang tidak dibersihkan karena sudah tak peduli terhadap kesehatan. Pinggir rel kereta api di daerah I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur menjadi tempat berteduh bagi sepasang anak kembar berusia 7 tahun itu dan keluarganya. Gerobak tempat berjualan rokok di pinggir jalan yang sudah tidak terpakai lagi menjadi tempat tinggal mereka. Gerobak itu dipasangi terpal untuk melindungi mereka dari hujan dan di dalamnya hanya terdapat 1 buah kasur kapuk yang sudah tidak layak pakai sebagai alas tidur mereka.

Di tempat yang mereka sebut rumah itu ternyata sedang tidur kakak mereka yang bernama Fahmi dan satu kakak yang lain yang bernama Bintang sedang bermain bersama Bapaknya. Fahmi berusia 12 tahun dan pernah bersekolah sampai kelas 3 SD, sedangkan Bintang berusia 10 tahun dan hanya bersekolah sampai kelas 1 SD. Tak sama dengan kedua kakak mereka, Udin dan Oji tak pernah mengenyam bangku sekolah dikarenakan sudah tidak ada biaya sama sekali.

Bapak Edwin, ayah mereka bekerja sebagai pemulung yang berpenghasilan sekitar Rp 10.000 setiap harinya. Ia memunguti botol-botol bekas di jalanan untuk dijual. Begitupun dengan Ibu mereka yang bernama Suminar yang saat itu sedang bekerja memungut botol bekas di jalanan. Biasanya mereka bekerja secara bergantian karena harus mengawasi anak-anak mereka yang masih kecil-kecil.

Jadi bagaimana bisa menyekolahkan anak-anak mereka? Dengan peghasilan yang jauh dari cukup itu, keluarga itu hanya mampu membeli nasi bungkus yang harus dimakan sebungkus berdua dan membeli air bersih yang harganya Rp 1.000 seember untuk keperluan air minum. Untuk mandi saja mereka harus menumpang pada pos yang letaknya cukup jauh dari tempat mereka.

Bintang bercerita, sesekali ia berinisiatif menjadi pengamen di lampu merah I Gusti Ngurah Rai, Klender untuk membantu menambah penghasilan orang tua mereka. Bintang biasanya mengamen pada malam hari, sekitar pukul 19.30-21.00 WIB. Penghasilannya bisa mencapai Rp 15.000 sehari. Namun orang tuanya kurang setuju karena takut anaknya diajak oleh dedengkot atau “Bapak-Bapakan” untuk ikut menjadi anaknya. Oleh karena itu Pak Edwin harus mengawasi Bintang dari kejauhan kalau ia sedang mengamen di lampu merah. Sementara Fahmi bekerja sebagai pemulung sama seperti Bapak Ibunya.

Sama halnya dengan kakak-kakaknya, pernah suatu hari Udin dan Oji yang masih kecil dan belum bisa bekerja ditangkap polisi karena bermain-main di taman. Akhirnya Pak Edwin harus menjemput mereka pulang dan membuat perjanjian bahwa anaknya tidak boleh bermain di taman itu lagi.

Beginilah potret hidup anak jalanan di DKI Jakarta. Mereka masih memiliki banyak harapan untuk masa depan. Bintang, Udin, dan Oji ingin sekali dapat bersekolah dan bermain bersama teman-teman, namun himpitan hidup memaksa mereka mengubur keinginan itu dalam-dalam. Mereka ingin sekali bisa membaca dan menulis. Bintang ingin menjadi seorang pilot, Udin ingin menjadi polisi, dan Oji ingin menjadi ABRI. Namun harapan hanya tinggal harapan. Sangat sulit bagi mereka untuk menghadapai masa depan.

Sejak dulu, anak jalanan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal tersebut disebabkan karena tingginya tingkat kelahiran, namun kurangnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia.

Banyaknya anak-anak yang berkeliaran di tempat-tempat umum dan jalan raya, salah satunya disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang harganya kian hari kian melambung tinggi. Jika keadaan sudah begini, entah terpaksa atau tidak, mereka akhirnya menjadi anak jalanan. Terkadang Pemerintah-lah menjadi kambing hitam atas permasalahan ini.

Meski banyak pihak telah menyediakan tempat penampungan resmi bagi anak jalanan agar hidup mereka lebih tertata, namun kadang kala beberapa dari mereka lebih memilih menjadi gelandangan untuk meminta-minta atau ikut seseorang yang sering mereka sebut “Bapak-Bapakan” atau “dedengkot” yang menjadikan mereka komoditi pengeruk pundi-pundi rupiah. Secara tidak sadar, anak-anak jalanan itu dimanfaatkan untuk menjadi pengamen atau pengemis atau bahkan untuk disewakan kepada pengemis lain yang lebih tua untuk pura-pura menjadi anak mereka. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena dengan begitu penghasilan mereka lebih besar dan hidup mereka lebih bebas daripada harus tinggal di tempat penampungan yang resmi.

Seharusnya, dengan melihat potret kehidupan kota Jakarta yang tak terpisah dari kehidupan anak-anak jalanannya mengajarkan kita untuk lebih peduli terhadap nasib mereka. Sebab tak hanya Pemerintah yang memiliki tanggung jawab atas keadaan ini, kita juga bertanggung jawab atas masa depan mereka, masa depan penerus bangsa.

0 komentar: