Selasa, 07 April 2009

PENGATURAN HUKUM TENTANG MEREK

M. PENGATURAN HUKUM TENTANG MEREK

1. Kehati-hatian

Merek sebagaimana diatur dalam undang-undang Merek meliputi Merek Dagang dan Merek jasa. Hak atas Merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam daftar umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberi ijin kepada seorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau dalam dan oleh badan hukum atau m enggunakannya.

Merek hanya dapat didaftar atas dasar permintaan yang ditujukan oleh beberapa Merek yang beritikad baik.sedangkan pemilik Merek sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal 4 uu Merek (No. 19/1992) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang bersama-sama atau badan hukum.

Sebuah Merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini.

- Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum;

- Untuk memiliki daya pembeda;

- Telah menjadi pemilik umum,atau

- Merupakan dengan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.

Selanjutnya ditentukan bahwa:

a. Permintaan Merek ditolak oleh kantor Merek apabila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan milik orang lain yang sudah didaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa sejenis yang termasuk dalam satu kelas.

b. Permintaan pendaftaran Merek juga ditolak oleh Kantor Merek apabila:

1) Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal,foto,merek dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain yang sudah terkenal,kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.

2) Merupakan peniruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem dari negara atau lembaga nasional maupun internasional kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

3) Merupakan peniruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berwenang; atau

4) Merupakan atau menyerupai ciptaan orang lain yang dilindungi hak cipta, kecuali atas persetujuan tertulis dari pemegang Hak Cipta tersebut.

Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu sepuluh tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan pendaftaran dari pemegang Hak Cipta tersebut.

2. Tata Cara.

Penting untuk disajikan lebih dulu mengenai tata cara memperoleh hak atas Merek. Untuk itu akan dikemukakan nukilan yang relevan yang tercatat dari wawasan Prof. Dr. Sudargo Gautama yang akan dikemukakan dalam butir-butir dibawah ini.

a. Sistem deklaratif dan konstitutif.

Ada yang dikenaql sebagai sistem deklaratif yang berlaku dalam undang-undang Merek tahun 1961 dan ada yang disebut sistem konstitutif, atau Attributif yaitu sistem yang mengatakan bahwa hak atas sesuatu Merek adalah karena pendaftarannya, tercipta untuk orang yang mendaftarannya Mereknya, dialah yang satu-satunya yang berhak atas sesuatu Merek. Demikian sistem UU Merek baru 1992 (pasal 3).

Dalam sistem deklaratif sebaliknya dikatakan bahwa pemakaian pertamalah yang berlaku untuk nmenentukan terciptanya suatu hak atas Merek dan bukan pendaftarannya.kedua sistem ini dalam praktek ternyata disertai dengan berbagai modifikasi tertentu. Dalam hukum perundang-undangan Merek tadi berbagai negara pada umumnya dipakai sistim pendaftaran dalam daftar umum dari merek-merek ini. Tetapi seperti diketahui, arti pendaftaran berkenaan dengan terciptanya hak atas merek ini berbeda sekali. Ada negara yang menggantungkan hak atas merek ini pada pendaftaran. Dengan lain perkataan, pendaftaran yang menciptakan hak atas sesuatu merek.ini yang dinamakan sistem Attributif atau sistem Konstitutif.

Di samping itu, terdapat sistem dimana hak atas suatu merek tercipta karena pemakaiannya yang pertama (sistem deklaratif),sistem inilah yang dianut dalam undang-undang Merek 1961. Ada yang memakai sistem deklaratif ini tetapi cara mempertahankannya terhadap pihak ketiga,baik dari segi perdata maupun pidana,hanya dimungkinkan setelah adanya pendaftaran. Akan tetapi ada pula sistem yang mendasar segala sesuatu hak ini atas pemakaian belaka dan memberikan perlindungan yang sempurna karena pemakaian ini,tanpa perlu dilakukan pendaftaran.kemudian dapat disaksikan pula sistem dimana pemakaian ini disyaratkan harus demikian rupa hingga hanya pemakaian yang membuat merek bersangkutan menjadi terkenal pada khalayak ramai,diakui sebagai menciptakan hak atas merek itu.

Di dalam sistem yang diatur dalam undang-undang Merek 1961. Maka pendaftaran memberikan suatu hak tertentu, yaitu bahwa orang yang mendaftarkan dianggap menurut hukum sebagai pemakai yang pertama dari merek itu dan karenanya yang berhak. Tetapi apabila seorang lain dapat membuktikan bahwa ialah yang lebih dahulu memakai merek yang bersangkutan daripada orng yang mendaftarkan merek itu, maka pendaftaran yang bersangkutan dapat dihapuskan. Dengan kata lain pendaftaran ini “Kalah” terhadap pemakaian pertama.

Namun mungkin pula bahwa sebaliknya dianut sistem bahwa apabila sudah dilakukan pendaftaran, maka tidak ada lagi orang lain yang dapat minta pembatalannya karena alasan sudah memakai merek itu lebih dahulu. Ada juga sistem yang membatasi pembuktian telah memakai lebih dahulu daripada yang mendaftarkan dalam jangka waktu tertentu setelah pendaftaran itu. Di samping itu sistem lain yang mengatakan bahwa sama sekali tidak ada pembatasan dalam jangka waktu melakukan pembuktikan dari pemakaian lebih dahulu yang selalu akan dihargai sebagai lebih kuat daripada pendaftaran.

a. Sistem Di indonesia sebelum UU Merek 19/1992.

Dalam undang-undang merek 1961 hak atas suatu Merek didasarkan melalui atas pemakaian merek itu pertama kali di Indonesia. Untuk mempertahankan hak atas merek itu tidak diperlukan pendaftaran lebih dahulu.

Dalam pasal 2 ayat (1),ditentukan bahwa hak khusus untuk memakai suatu merek diberikan kepada pemakai pertama dari Merek tersebut di Indonesia. Pendaftaran dianggap sebagai pemakai pertama. Kalau ternyata seoarang lain dapat membuktikan hak yang sebaliknya, maka dapatlah dilakukan pembatalan dari pendaftaran Merek bersangkutan.

Mengacu pada ketentuan yang termaksud dalam pasal 2 ayat (2) undang-undang Merek 1961 dapat diketahui bahwa seorang yang telah mendaftarkan mereknya dapat selalu disanggah orang lain yang mendalilkan bahwa ia adalah pemakai lebih dahulu dari pada orang yang telah mendaftarkan itu.

Sebagai contoh konkrit Sudargo Gautama mengemuklakan dua perkara yang terkenal yaitu ”Tancho” untuk minyak rambut dan perkara Merek “Y.K.K.” untuk titsluiting.dalam dua perkara tersebut dapat diketahui bahwa walaupun ternyata perusahaan-perusahaan Indonesia sudah melakukan pendaftaran lebih dahulu dalam daftar umum dari Direktorat Paten, pendaftaran ini juga dapat dibatalkan oleh hakim, atas dari pihak-pihak luar negeri yang telah berhasil membuktikan bahwa mereka sesungguh-nyalah yang lebih dahulu memakai Merek bersangkutan di Indonesia dari pada para pendaftar.

Sistem yang dianut dalam perundang-undangan Merek tahun 1961 adalah sistem deklaratif. Pendaftaran tidak menciptakan hak atas merek, melainkan seolah-olah hanya menegaskan atau menerangkan bahwa orang yang melakukan pendaftaran ini menurut hukum dianggap seoloh-olah benar-benar orang yang telah memakia merek itu terlebih dahulu di Indonesia dan karenanya menjadi yang berhak atas Merek itu atau disebut sebagai Presumptioiuris, namun dalam praktek selalu dapat dilakukan pembuktian kebalikannya.

Justru hal inilah yang merupakan keberatan dari mereka yang pro prinsip konstitutif atau Attributif dari sistem pendaftaran. Mereka mengatakan bahwa adanya kemungkinan untuk menyerang sewaktu-waktu pendaftaran sesuatu Merek, berarti bahwa tidak ada kepastian hukum. Bahwa orang yang telah mendaftarkan mereknya ini, selalu terbuka untuk serangan dari pihak lain yang mengatakan bahwa sesungguhnya ia pakai merek itu lebih dahulu dari pada orang yang telah mendaftarkannya. Kepastian hukum karena dibahayakan dan justru hukum adalah untuk memberikan kepastian dan menghilangkan segala keragu-raguan.

b. Alasan menganut sistem konstitutif (kepastian hukum).

Pada seminar hak atas merek yang diadakan di Jakarta, ternyata dapat disimak berbagai peserta mengemukakan alasan-alasan pro prinsip Konstitutif atau Attributif. Antara lain faktor kepastian hukum yang dianggap penting dan baik adanya untuk mempertahankan sistem Konstitutif. Dalam hubungan ini menarik untuk mempelajari “Model law of developing countries om marks, Trade name and acts of unfair competition” yang diterbitkan oleh BIRPI tahun 1967,telah dianut pula sistem konstitutif ini. Menurut Model Law ini maka pendaftaran sesuatu Merek yang menciptakan hak atas Merek. Bukan pemakaian, melainkan pendaftarannya yang dianggap penting dan menentukan adanya (Pasal 4 ayat (1).

Paragarf 1 dari pasal 4 menentukan bahwa hak eksklusif atas sesuatu merek diberikan oleh undang-undang, karena pendaftaran atau required by registration. Registrasi suatu merek adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh perlindungan penuh menurut Model Law. Pemakaian suatu merek saja, walaupun pemakaian pertama, tidak diakui sebagai suatu cara untuk memperoleh perlindungan itu.

Dijelaskan bahwa dalam diskusi-diskusi second Model Law Committee, yaitu panitia yang diadakan khusus untuk memperbincangkan soal trademark and Model Law telah terjadi perdebatan hangat mengenai masalah ini. Tetapi akhirnya mayoritas wakil-wakil dalam panitia ahli telah menerima prinsip konstitutif tersebut. Alasannya adalah pertama-tama karena sistem inilah yang paling cocok untuk mayoritas negara-negara berkembang.

Dinegara-negara berkembang sukar untuk menentukan pemakaian pertama sesuatu merek. Sukar untuk ditentukan tanpa kesulitan-kesuliatan yang besar. Pendaftaran adalah satu-satunya yang mudah diketahui dan dapat dipakai sebagai dasar yang kokoh dan pasti untuk dijadikan dasar pemberian hak diatas Merek.

Di samping itu dikemukakan pula bahwa walaupun telah diterima sistem pendaftaran yang konstitutif dalam Model Law, suadah diperhalus dengan ketentuan lain yang juga mementingkan pemakaian merek yang tidak terdaftar. Merek yang tidak terdaftar tetapi dipakai, ternyata juga akan dilindungi terhadap tindakan-tindakan persaingan tidak jujur (Pasal 50 dan 52 sub a dari pada Model Law).

Beberapa pandangan yang argumentatif diatas yang memperkuat lahirnya UU No. 19/1992. Ditetapkan pula undang-undang Merek Tahun 1961, bahwa pendaftaran yang telah dilakukan harus diikuti pula dengan pemakaian. Dalam waktu 6 bulan setelah pendaftaran dilakukan, merek bersangkutan harus di pakai di Indonesia (Pasal 2 ayat (2) kalimat yang kedua). Di samping itu ditentukan pula bahwa apabila ternyata bahwa si pendaftar untuk ketiga tahun berturut-turut tidak memakai lagi Merek bersangkutan, maka dapatlah dianggap hapus pendaftarannya, setelah adanya pernyataan Hakim yang menentukan tidak terpakainya lebih dari 3 tahun ini.

Justru dalam praktek kita saksikan bahwa sukar sekali untuk menentukan dan memperoleh keputusan Hakim tentang non use, baik 6 bulan setelah pendaftaran maupun 3 tahun berturut-turut berdasarkan Pasal 18 ayat (1) sub c tersebut.

Dalam praktek ternyata sukar sekali untuk minta pendaftaran suatu Merek berdasarkan alasan tidak dipakai itu.

Keharusan untuk melakukan pemakaian Merek ini sejalan dengan prinsip bahwa hak atas Merek didasarkan pada pemakaian Merek tersebut. Setidaknya ditentukan bahwa harus sudah dipakai oleh pemilik dalam waktu 6 bulan setelah pendaftaran. Apabila ia tidak memakainya maka dianggapnya sebagai tidak lagi merupakan pemakai pertama dari Merek itu.

Dalam UU Merek baru No. 19 Tahun 1992 juga diharuskan pemakaian ini. Jika tidak digunakan selama tiga tahun setelah didaftarkan, maka atas prakarsa Kantor Merek dapat dihapuskan pendaftarannya (Pasal 51 ayat (2) ). Untuk pembaharuan pendaftaran juga disyaratkan pernyataan pemakaian ini (Pasal 37).

Beberapa ketentuan penting perlu mendapat perhatian.

a. Pemakaian Pada Pameran.

Dalam hubungan ini dapat diketahui bahwa menurut undang-undang Merek 1961 pemilik Merek yang telah memamerkan sesuatu barang beserta Mereknya didalam suatu pameran nasional yang diselenggarakan pemerintah atau suatu pameran yang resmi diakui nasional, di anggap sebagai memakai merek itu, jika ia dalam 6 bulan meminta pendaftarannya.

Anggapan ini tidak berlaku lagi jika 6 bulan setelah Merek itu didaftarkan ia belum mengeluarkan barang dengan Merek itu.

b. Peralihan Hak.

Jika telah terjadi peralihan sesuatu Merek secara sah, maka pada pemakaian ini dapat pula turut dihitung pemakaian oleh orang-orang yang berhak atas Merek itu terlebih dahulu.

c. Pemakaian Di Wilayah RI.

Pemakaian harus di wilayah Republik Indonesia. Hak atas sesuatu Merek tercipta hanya sebagai akibat dipakainya Merek itu didalam wilayah Republik Indonesia. Akan tetapi berkenaan dengan barang-barang diluar negeri maka harus diperhatikan bahwa penawaran dan penyerahan dari barang-barang dengan Merek bersangkutan kepada langganan yang membelinya didalam negeri, pada umumnya dapat dianggap sebagai pemakaian di dalam wilayah Republik Indonesia ini.

Juga jika telah dilakukan reklame dengan jalan memasang iklan-iklan dalam majalah-majalah, atau harian di Indonesia ini, dapat di anggap pemakaian dari Merek itu telah berlangsung di Indonesia, walaupun iklan-iklan bersangkutan dengan barang-barang yang berasal dari luar negeri.

Satu persoalan timbul jika ada barang-barang yang dibubuhi Merek luar negeri, tapi kemudian telah di impor ke Indonesia. Dalam hal ini maka harus diperhatikan bagaimana kejadian yang sebenarnya berkenaan dengan Merek itu. Untuk menentukan apakah Merek itu memang telah dipakai untuk membedakan barang-barang dari pada pabrikan luar negeri atau dari importir Indonesia. Pada umumnya dianggap Merek ini adalah Merek dari Pabrik luar negeri.akan tetapi juga mungkin bahwal dalam hal-hal tertentu merek ini merupakan Merek khusus pihak importir yang telah sengaja telah memilih Merek yang bersangkutan itu. Misalnya jika seorang pedagang di Indonesia mengimpor barang-barang mesin jahit dari Taiwan dan ia minta agar supaya Merek yang telah dipikirkannya sendiri, seperti misalnya “Cap Kutilang”, adalah yang dipakai untuk mesin jahit yang diimpornya itu. Dalam hal ini maka dianggap merek yang telah diminta oleh pihak importir Indonesia ini, adalah merek dari sang importir dan bukan dari pabrik Taiwan itu.

Seperti telah disinggung pemakaian merek bersangkutan harus dilakukan di Indonesia. Kalau pemakaian diluar negeri, tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk memperoleh Hak diatas Merek bersangkutan di Indonesia. Juga tidak dapat dipakai pemakaian diluar negeri sebagai dasar untuk menuntut orang lain yang memakai Merek itu di Indonesia.

Berkenaan dengan sifat yang teritorial dari hak atas Merek itu, maka Merek yang sama dapat dipakai oleh orang-orang yang berlainan masing-masing di negara yang berlainan pula.

d. Ittikad Baik.

Akan tetapi didalam hal ini harus kita perhatikan apakah pemakaian Merek di Indonesia dari Mereknya juga yang dipakai diluar negeri ini, melalui merupakan suatu tiruan yang dapat merugikan khalayak ramai. Jika terdapat saing curang, maka tentunya dapat diadakan permintaan pembatalan.

Dalam hubungan ini menarik apa yang telah dikemukakan oleh mahkamah agung dalam perkara “tancho”. Seperti diketahui di situ mahkamah agung telah mempergunakan kesempatan untuk mengedapankan teori atau prinsip tentang “itikad baik”. Siapa yang berhak atas sesuatu merek, yaitu seseorang yang telah mendaftarkannya di Indonesia,tetapi dengan itikad baik.jika pendaftaran ini telah dilakukan dengan itikad buruk,maka tidak akan dapat diberikan perlindungan.

Dalam hubungan ini disimak apa yang tercantum dalam pasal 6 bis dari paris convention versi stockholm 1967. Yaitu bahwa dalam hal merek-merek yang terkenal ternyata telah ditiru oleh pedagang-pedagang secara tidak sewajarnya,maka selalu dapat diminat pembatalannya atau dilakukan pembatalan secara ex officio oleh pejabat pendaftaran.

Ternyata juga dalam UU merek no. 19 tahun 1992 merek hanya dapat didaftarkan atas dasar permintaan yang di ajukan pemilik yang merek yang itikad baik “(Pasal 4 ayat (1).

e. Pemakaian Merek

Seorang dapat dikatakan telah memakai sesutu merek apabila dia telah menjual barang-barang memakai bersangkutan.selain itu juga pemakaian dari sesuatu merek dianggap telah berlangsung apabila pemilik merek telah menawarkan barang-barang bersangkutan harus dijual seperti dalam iklan-iklan atau jika dia dengan cara lain telah mengedarkan barangnya dipasaran. Contoh misalnya dia telah mengirim monster-monster atau contoh-contoh barang kepada langganan-langganannya. Juga jika dia telah memasukkan barangnya itu dengan mereknya dengan daftar-daftar harga atau jika dia dapat membuktikan penjualan dengan faktur-faktur dan sebagainya.

f. Hak khusus

Siapa yang telah memakai pertama merek di Indonesia adalh yang berhak atas merek itu. Hal ini berarti bahwa ia mempunyai hak yang khusus atau exclusive right untuk memakai itu. Orang lain tidak diperbolehkan untuk pemakai merek itu atau yang serupa dengan itu untuk membedakan barang-barangnya.

Hak khusus untuk memakai merek ini yang berfungsi seperti suatu monopoli, hanya berlaku untuk barang-barang tertentu.

Dalam pasal 2 undang-undang merek dijelaskan tentang hak khusus untuk memakai suatu merek guna membedakan barang-barang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan seseorang atau badan hukum diberikan kepada barang siapa untuk pertama kali memakai merek itu di Indonesia. Tetapi pemakaiannya memang terbatas untuk keperluan barang-barang yang dengan merek itu, di samping tenyata perlindungan juga meliputi barang-barang lain yang sama jenisnya dengan barang yang bersangkutan itu.

g. Sejenis.

Pada perundang-undangan tentang merek di pakai istilah barang-barang sejenis “barang yang sejenis” dapat ditemukan pada pasal 10 ayat (1). Tetapi didalam penjelasan undang-undang merek tidak diuraikan lebih lanjut apa yang diartikan dengan istilah tersebut.hanya dalam penjelasan atas pasal 10 dikatakan “ sudah cukup jelas” dan telah diterangkan dalam penjelasan umum. Tetapi dalam penjelasan umum hanya disebut istilah: “barang yang sejenis itu” tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Apa yang diartikan dengan istilah “ barang-barang yang sejenis” atau barang-barang yang jenisnya ini tidak dapat ditentukan secara pasti.tentunya yang dijadikan pokok pegangan adalah agar supaya tidak timbul kekeliruan dalm pandangan masyarakat ramai.harus dihindarkan kekacauan dalam pandangan publik mengenai barang sejenis ini perlu diartikan dalam arti kata luas. Hal ini berarti bahwa hanya barang-barang sama sekali tidak mempunyai hubungan dan berbeda adanya,dipandang sebagai tidak merupakan sejenis.

Kadang-kadang sebagai ukuran dipergunakan bahwa barang-barang yang termasuk cabang industri atau perdagangan yang sama adalah barang yang sejenis. Dapat juga sesuatu barang adalah sejenis jika dapat diketemukan umumnya atau lazimnya dalam tokoh-tokoh yang sama seperti halnya dengan mentega dan margarine.

Jika dipandang dari sudut teknik dan perekonomian,barang-barang bersangkutan adalah berat hubungannya maka barang-barang yang bersangkutan mudah memberi kesan kepada publik jika barang-barang itu dipakai dengan merek-merek yang sama,maka orang akan mengambil kesimpulan tentang persamaan tempat asal dari barang itu.

Dalam menentukan apakah kita menghadapi barang-barang yang sejenis perlu diperhatikan apakah terdapat persamaan sipat atau susunannya, tempat dan cara pembuatannya,serta juga penjualannya.kemudian persamaan tujuan pemakaiannya.

Agar dapat secara baik ditentukan persoalan barang sejenis ini, perlu kiranya tidak dilupakan bahwa tujuan dari undang-undang merek ialah untuk jangan sampai terdapat persaingan yang tidak jujur dan kekeliruan di antara khalayak ramai.karena ini pun undang-undang merek memperluas hak khusus untu memakai suatu merek,hingga meliputi pula barang-barang yang sejenis.oleh karena nya dalam menentukan barang-barang yang termasuk sejenis harus diperhatikan pula pertama-tama pendapat umum terutama pemdapat dari golongan-golongan yang bersangkutan dari barang-barang itu.

Dalam paraktek dapat disaksikan bahwa sebagai barang-barang sejenis oleh sudargo gautama disebutkan sebagai berikut.

1) Cat,pernis,barang-barang cat,cat air;

2) Minyak pelumas dan minyak bakar;

3) Essence buah-buah dan limun serta air belada (air soda);

4) Joka atau materas,bantal,dan selimut;

5) Gula-gula dan biskuit;

6) Minyak wangi, pomade dan barang-barang kosmetik lainnya;

7) Tepung,hunkwee,mie,bihun;

8) Sepatu,sol sepatu,sendal, kelom, dan sebagainya.

Perlu diingatkan bahwa harus dibedakan antara “ jenis barang” dan “kelas barang”.pembagian barang-barang dalam kelas-kelas barang seperti yang dimaksudkan dalm pasal 4,dua sub b dari undang-undang merek 1961,dibuat khusus untuk keperluan memperhitungkan jumlah biaya pemeriksaan. Jumlah ini ditetapkan menurut jumlah kelas barang.secara internasional terdapat penentuan kelas-kelas barang atau internasional classification of Goods and services for the purpose of the registration of marks, yang dikeluarkan antara lain dalam rangka WIPO (world intelectual propertyorganization) terdiri dari 4 kelas trademark dan 8 kelas barang-barang kelas services mark atau merek jasa. Daftar kelas-kelas barang ini secara internasional dilampirkan bersama sebagai lampiran tersendiri. UU merek No. 19 tahun 1992 dengan peraturan pelaksanaannya juga memakai klasifikasi internasional ini.

Disampingkan itu diberikan pula lampiran pula barang-barang yang merupakan lampiran daftar barang-barang yang merupakan lampiran resmi dari undang-undang merek 1961 vide ayat 2b pasal 4 (pada lampiran undang-undang merek 1961).

Klasifikasi di Indonesia menurut undang-undang merek ini sejalan dengan klasifikasi internasional. Tetapi ditambahkan satu kelas khusus untuk keadaan di Indonesian yaitu kelas 35 yang terdiri dari barang-barang khas indonesia seperti : Kecap,tauco, terasi, petis, kerupuk dan emping.

Dalam rangka paris convention telah terdapat apa yang dinamakan Nice Agreement dari 15 juni 1957 yang khusus mengenai Internasional Classification of goods and services for the purpose of the registration of marks,pada tanggal 1 januari 1976, 31 negara yang menjadi pihak dari agreement nice ini, republik indonesia belum termasuk.

Klasifikasi internasional ini terdiri dari 34 kelas barang-barang dan 8 untuk services marks seperti telah diuraikan di atas.juga suatu daftar alpabetis barang-barang dan jasa-jasa yang tercakup dalm klasifikasi terdiri dari tidak kurang dari 20.000 macam. Daftar ini diamendir atau ditambah seperlunya secara berkala oleh suatu panitia ahli yang mewakili negara-negara peserta. Agreement dari nice ini telah direvisi di stockholm pada tahun 1967.

h. Jangka waktu.

Menurut pasal 2 sub 1 kalimat 2 hak khusus untuk memakai merek bersangkutan berlaku untuk barang bersangkutan serta barang-barang yang sejenis,hingga 3 tahun setelah pemakaian terakhir merek itu.

Pendaftaran berlaku untuk 10 tahun baik menurut UU 1961 maupun UU merek baru 1992 (pasal 7).

N. Permintaan Pendaftaran.

a. Umum.

Dalam pasal 8 undang-undang 19/1992 secara umum ditentukan permintaan pendaftaran merek seperti dibawah ini: satu permintaan pendaftaran dan merek hanya dapat di ajukan untuk satu kelas barang atau jasa. Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Selanjut di atur bahwa:

Permintaan pendaftaran merek diajukan secara tertulis dalam bahas indonesia kepada kantor merek. Surat permintaan pendaftaran merek mencantumkan:

1) Tanggal, bulan, dan tahun.

2) Nama, lengkap, kewarganegaraan dan alamt pemilik merek.

3) Nama lengkap dan alamat kuasa apabila permintaan pendaftaran merek diajukan melalui kuasa.

4) Alamat yang dipilih di Indonesia, apabila pemilik merek bertempat tinggal diluar wilayah negara Indonesia;

5) Macam warna,apabila merek yang dimintakan pendaftarnya menggunakan unsur warna;

6) Kelas serta jenis barang atau jasa bagi merek yang dimintakan pendaftarannya, dan

7) Nama negara dan tanggal permintaan pendaftaran merek yang pertama kali, dalam hal permintaaan pendaftaran diajukan dengan hak prioritas.

Selanjutnya surat permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditanda tangani pemilik merek atau kuasanya. Dalam hal permintaan pendaftaran merek diajukan oleh lebih dari 1 orang atau badan hukum yang

1) Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;

2) Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dibidang merek;

3) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang merek;

4) Melakukan pemeriksaan atas pembukuan,catatan, dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan pindana dibidang merek;

5) Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,pembukuan,catatan, dokemen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang dan hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara pidana merek; dan

6) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksaan tugas penyidikan bidang pidana dibidang merek;

C. Penyidikan pejabat pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai dengan ketentuan pasal 107 undang-undang no.8 tahun 1981 tentang hukum acara pudana (pasal 80).

o. Ketentuan Pidana

a.Setiap orang dengan sengaja tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhan dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak RP 100.000.000 (seratus juta rupiah). (pasal 81).

b.Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain,untuk barang atau jasa sejenis atau produksi dan atau diperdagangkan,di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak RP 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). (pasal 82).

c.tindak pidana sebagainya dimaksud dengan pasal 81 dan pasal 82 adalah kejahatan. (pasal 83).

d.setiap orang yang memperdagangkan barang atau jasa yang diketahui atau patut diketahui barang atau jasa tersebut menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak RP 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). (pasal 81).

e.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran (pasal 84).

Dalam memahami secara lebih mendalami mengenai hukum merek dan aplikasinya atau dalam praktek maka hak milik intelektual mengenai merek in i sangat luas, sehingga perlu dilengkapi dengan berbagai karya tulis dan bacaan tentang hak merek ini, seperti karya-karya prof. Sudargo gautama hukum merek indonesia (1993),Harsono adisumarto hak milik intelektual paten dan merek (1990) dan lain-lain yang secara lebih khusus, mendalam dan luas membahas hak merek.

Segi Praktek 1: Contoh Surat Pendaftaran Merek Perusahaan dan Perniagaan )

PERMOHONAN PENDAFTARAN

(PEMBARUAN ) MEREK PERUSAHAAN

DAN MEREK PERNIAGAAN

-------------------------------------------

Nama dan Alamat Pemohon :

Memilih tempat kedudukan

Di Indonesia, pada kuasa :

Etiket merek :

Warna-warna etiket :

Tanggal; dan nomor pendaftaran

Yang dimohonkan pembaharuan :

Barang-barang :

……..tgl……..19

Pemohon/kuasa,

(……………)

Segi Praktek :2 ) Contoh Surat Jual Beli Merek.

Surat Jual Beli

I…………………Yang bertanda tangan di bawah ini :

Bertempat tinggal di :

………………….Selanjutnya disebut pihak ke SATU

II……………….:

Dan pada masa ini bertempat tinggal di:

………………..Selanjutnya disebut pihak ke DUA

………………..menerangkan……………………

Bahwa pihak kesatu menjual kepada pihak kedua, dan pihak kedua, dan pihak kedua Membeli dari pihak kesatu sebagian dari pada perusahaan, beserta mereknya, yang terdaftar dalam Daftar Umum Direktorat Patent di Jakarta…………Jual Beli ini dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dengan harga Rp.

Jumlah mana telah dibayar lunas oleh pihak kedua dan pihak kesatu telah menerimanya jumlah tersebut sepenuhnya, hingga SURAT JUAL BELI ini dianggap sebagai pengganti kwitansi.

………………………………

Tanda tangan tanda tangan

Pihak kedua pihak kesatu

Materai

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Merek bagi seorang pedagang pasti amat menentukan. Dari merek, khalayak menjadi kenal dengan produk jasa maupun barang yang ditawarkan. Merek pun menjadi jaminan kualitas barang dan jasa yang di perdagangkan. Karena itu, wajar kalau suatu barang atau jasa yang memakai merek terkenal, meskipun harganya mahal tetap dicari orang.

Pemerintah Indonesia pun menyadari pentingnya merek bagi usaha itu, sehingga melalui (UU) Nomor 21 tahun 1961, telah diatur tentang Merek perusahaan serta merek perniagaan. Merek dalam pengertian hukum, diartikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurup, angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang mempunyai daya pembeda dan dipergunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Sejalan dengan perkembangan dunia usaha, pengaturan soal merek di negeri ini pun berkembang pula. UU nomor 21/1961 dirasa sudah tak sesuai lagi dengan zamannya. Sehingga pemerintah memperbaharui lagi melalui UU No. 19 tahun 1961 tentang merek. Lingkup peraturan UU baru ini lebih luas dibanding dengan UU sebelumnya.

Tetapi, karena harus menyesuaikan lagi dengan perkembangan masa, termasuk akan di berlakukan era pasar bebas dan kesepakatan TRIPs (Trade Rilated Intellectual Property Rights), peraturan soal merek pun diperbaharui.

Sebenarnya tak banyak yang berubah dari UU No. 19/1992. Dalam RUU perubahan UU tentang merek yang baru dimasukkan saja penyesuaian yang akan mendukung Indonesia memasuki pasar bebas. Tetapi mekanisme pendaftaran merek tidaklah berubah.

Sebagai bagian dari HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), merek memang lebih diakui lebih ngetop dibanding dua “saudaranya”, paten dan hak cipta. Kantor merek rata-rata menerima permohonan pendaftaran merek sebanyak 150 buah setiap hari. Dibanding dengan permintaan paten dan hak cipta.

Meskipun permintaan merek setiap hari melimpah – pada tahun 1992 tercatat sebanyak 296.000 merek yang sudah di daftar – persoalan merek masih juga ada. Bukan saja soal pemalsuan merek, tetapi dalam proses pendaftaran merek pun masih ditemukan masalah.

Penumpukan permohonan merek itu bukan kesalahan konsultan merek atau permohonan merek semata. Hal itu tak lepas dari kondisi petugas dikantor merek yang disebutkan Dirjen HCPM perlu ditingkatkan. Bahkan, ia menandaskan, Dirjen HCPM 0 termasuk kantor merek sekarang ini sedang “sakit”.

Belum lagi masih ditemukan sertifikat merek aspal (asli tetapi palsu) yang beredar di masyarakat. Jumlah merek aspal itu tidak sedikit. Namun Dirjen HCPM tak bersedia menyebut perkiraannya. Juga masih ada tumpukan permohonan merek yang sudah selesai diproses tetapi tidak segera di ambil oleh pemohonnya. Jumlahnya juga mencapai ribuan.

Banyaknya persolan yang masih menghadang pendaftaran merek di Indonesia bukan berarti menunjukkan sulitnya memperoleh perlindungan merek. Seorang pengusaha, sesuai dengan UU No. 19/1992 maupun RUU perubahan tentang merek bisa sewaktu-waktu mengajukan merek yang akan digunakannya kepada kantor merek. permohonan pendaftaran merek itu bisa dilakukan langsung oleh calon pemakai merek maupun melalui konsultan hukum merek.

Setiap permohonan merek dari masyarakat pasti akan diproses dikantor merek. Setelah dilakukan pemeriksaan formalitas atas syarat-syarat yang diajukan pemohon, masyarakat dapat memberikan penilaian atas sebuah merek yang di daftarkan itu. Karena setiap waktu, kantor merek selalu mengumumkan mere-merek yang sedang didaftarkan.

Apabila tidak ada keberatan dari khalayak, pendaftaran merek itu akan dilanjutkan dengan pemeriksaan substantif. Kalau merek yang didaftarkan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, memiliki daya pembeda, bukan milik umum atau bukan keterangan atas barang atau jasa yang akan diberi merek itu, dapat diyakini kantor merek akan diluluskan pendaftaran itu. Namun Kantor Merek tetap berwewenang menolak pendaftaran merek.

Secara umum, pendaftaran merek akan ditolak Kantor Merek apabila mempunyai persaman pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek orang lain yang telah didaftarkan lebih dahulu untuk barang atau jasa sejenisnya. Ini sesuai dengan UU Nomor 19/1992. Namun dalam RUU perubahan tentang UU merek, ketentuan ini diperluas jadi untuk barang atau jasa sejenis maupun tak sejenis.

Permohonan merek pun ditolak apabila mirip dengan nama orang ternama, menyerupai lambang negara dan lembaga nasional Internasional, mirip stempel resmi lembaga negara, maupun menyerupai ciptaan orang lain yang dilindungi hak cipta. Untuk ketentuan ini masih pengecualian, yakni asalkan ada persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

Permohonan merek yang diterima akan mendapat masa perlindungan hukum selama sepuluh tahun. Setelah itu bisa diperpanjang lagi. Dan untuk menghindari ada pendaftaran merek yang sama, Direktorat Merek secara berkala menerbitkan panduan merek yang berisikan merek-merek yang telah disetujui. Namun panduan ini masih terbatas peredarannya. Bahkan konsultan merek pun belum mendapatkan secara rutin.

Saran

Proses permintaan merek dipercepat agar para pengusaha dapat menjalankan usahanya dengan cepat pula. Proses permintaan pendaftaran merek itu didului dengan : 1 Pengajuaan permintaan pendaftaran merek; 2) pengumunan untuk memberikan kesempatan oposisi bagi pihak lain dalam waktu enam bulan; 3) pemeriksaan substantif, dan apabila diteima pendaftarannya, maka 4) didaftar dan dimuat dalam berita resmi merek.

Jika semua berjalan lancar sesuai dengan peraturan, dalam tempo 15 bulan 14 hari, merek yang memang patut didaftar akan diterima pendaftarannya. Namun, pada kenyataannya, dengan begitu banyaknya kasus yang timbul selama ini, jangan harap Kantor Merek akan menyelesaikan tepat waktu. Seandainya pun ada yang didaftar akan diterima dalam waktu singkat, katakanlah sebelum satu tahun, perlu dipertanyakan.

Soalnya, proses penyelesaian yang cenderung begitu terlambat selama ini telah menimbulkan banyak keluhan dan pertanyaan dari pihak asing, khususnya yang diajukan kepada para konsultan merek nasional. Untunglah, dalam UU Merek tidak dicantumkan sanksi kepada Kantor Merk atas keterlambatan itu, sehingga ia terbebas dari segala tuntutan hukum. Sementara itu, walaupun masih ada kesempatan mengajukan gugatan melalui PTUN, upaya hukum itu pada akhirnya akan sia-sia, karena memakan waktu dan biaya.

Karena itu, ada baiknya kita membandingkan sistem permintaan pendaftaran merek nasional dengan negara lain, yang tentu jelas berbeda. Misalnya, dari segi waktu, proses permintaan pendaftaran merek di kebanyakan negara lain lebih singkat. Karena, tahap “ pengumuman untuk oposisi “ dialihkan setelah pemeriksaan substantif. Sedangkan pengumuman (pertama) untuk oposisi dalam sistem kita, yang berlangsung dalam enam bulan, terkesan hanya membuang-buang waktu. Apalagi, biaya untuk mempublikasikan “ pengumunan untuk oposisi “, pengadaan dan penjilidan, juga tidak sedikit.

Padahal, akan lebih baik jika anggaran itu dialihkan untuk menambah kesejahteraan aparat Kantor Merek. Walhasil, semangat memproses permintaan pendaftaran merek yang kita jalankan itu memang sangat mengesankan semangat debirokrasi, dan bukan semangat efisisensi serta kepastian waktu.

Di Negara berkembang lain seperti Vietnam dan Thailand, proses itu terlihat mirip, namun jelas tidak sama. Karena, di negara itu proses tersebut mengikuti alur sebagai berikut : 1) permohonan pendaftaran merek: 2) pemeriksaan substantif atas merek itu; biasanya dalam waktu kurang dari 12 bulan, dan apabila merek itu diterima pendaftarannya, kemudian 3) diumumnkan untuk memberi kesempatan oposisi bagi pihak lain; 4) jika tidak ada oposisi, merek itu didaftarkan secara definitif dalam berita resmi merek.

Alur itu mirip ban berjalan, dan sistem first to file principle, yang banyak dianut di negara-negara di Asia – kecuali Filipina-dan masyarakat Eropa, pada akhirnya menjadi first come first out. Sehingga, kesan terjadinya kolusi antara Kantor Merek dan pemohonan pendaftaran merek bisa dihindarkan. Namun, satu hal yang utama, jangka waktu permohonan pendaftaran merek berlangsung lebih singkat. Dan bagi para pengusaha, jangka waktu pemrosesan yang singkat dan efisien itu merupakan dambaan utama, karena upaya untuk menggunakan merek tersebut dalam produk barang dan jasa dapat segera terlaksana.

Dengan kata lain, sistem alur pemerintahan pendaftaran merek, baik yang kita jalani sekarang ini maupun yang didasarkan pada RUUM, selain tidak efisien, juga membuka peluang kolusi atau penyimpangan prosedur. Misalnya, pada masa pengumunan selesai, atau sesudah melewati jangka waktu sekitar 194 hari dari tanggal permintaan, pemohon merek atau kuasa hukumnya akan membuka peluang berkolusi, agar merek itu segera diterima dan diputus diterima pendaftarannya.

.

Contoh Kasus

Perlindungan Merek: ah..teori.

(artikel media massa) kompas,26 februari 1997;

Cecilia Resti Friska

Perancang busana terkenal dari perancis Pieerie cardin tahun 1993 datang ke indonesia Ia pun mencak-mencak. Merek busana yang telah didaftarkan ternyata dipakai pihak lain dinusantara ini dengan tanpa hak.sedang perusahaan yang bermitra dagangannya justru tersudut sebagai pihak yang di anggap memalsukan merek.

Mengapa saya tidak dapat memakai nama saya sendiri disini. Ini masalah besar bagi negara anda, tegas cardin kala itu.namun setelah bertemu dengan menteri kehakiman Ismail saleh (kala itu) Cardin pun menjadi maklum. Ia gembira, sebab manke berjanji akan memtertibkan pemakaian m erek tersebut.

Persoalan merek dinegeri ini tak dialami Pierrie Cardin saja. Tengoklah disepanjang kaki lima berbagai merek terkenal tersedia disana. Sulit meyakinkan diri sendiri, kalau barang-barang dengan merek-merek ternama itu asli. Selain harganya lebih miring juga barang-barang itu lebih banyak mempergunakan merek asing sepertinya dari mancanegara.

Consultan hukum merek, insan Budi Mualana kepada kompas ,senin (24/2/1997),menyatakan tak berani menyatakan barang-barang dengan merek ternama di kaki lima itu aspal (asli tapi palsu). Bisa jadi merek itu asli. Artinya perusahaan pemegang merek yang asli mengeluarkan dengan sengaja produk dengan harga murah untu membendung pemalsuan merek.

Ini semacam praktek dagang tetapi cara-cara macam di amat jarang dilakukan memegang merek yang asli. Apabila mereknya sangat terkenal cenderung memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan harga yang tinggi serta memgharapkan royalti dari pihak lain yang memakai mereknya. Jadi sekedar menjual resensi, titur konsultan hukum dari law firm LSM (lubis, santosa, dan mualana) tersebut.

Tetapi memang dapat juga barang-barang bermerek yang dijual di kaki lima itu aspal. Hanya persoalan ini, seperti dijelaskan Manke Oetojo Oesman, amat sulit ditertibkan kecuali, kalau ada pengaduan dari pemegang merek yang asli dan telah diputuskan pengadilan baru bisa diadakan operasi pasar.

Mempersoalkan pemalsuan merek melalui pengadilan diakui banyak orang akan memakan waktu yang lama meskipun peradilan di Indonesia menganut sistem yang cepat, murah, dan sederhana, namun kenyataannya belum bergitu kepastian hukum masih sulit diraih. Ya, paling tidak, lama diperoleh olehnya.

Sekalipun demikian, pengadilan dinegeri ini sudah beberapa kali menyidangkan kasus-kasus merek beberapa dakwa pemalsu merek pun telah banyak dihukum atau dibatalkan pendaftaran mereknya. Itu merupakan gambaran betapa perlindungan hukum atas pemegang merek di Indonesia berusaha terus di tegakkan.

Undang-undang (UU) no. 19 tahun 1992 tentang merek yang saat ini sedang dibahas di DPR dan akan diperbaharui, memberikan jaminan perlindungan atas pemegang merek secara tegas pula. Pelanggaran hak atas merek bisa dikenai hukuman kurungan 1-7 tahun serta denda RP 100 juta.

Secara teoritis pemegang merek di Indonesia sudah terlindungi. Itu sesuai UU. Tetapi didalam kenyataan, yang menentukan adalah praktek diperadilan. Artinya, bagaimana para pihak berargumentasi, tutur insan.

Pada kasus gugatan atas pemegang merek ternama dari luas negeri seperti kasus Pierre Carding kurang perusahaan lokal yang mnemakai merek itusecara tidak sah bisa saja memenangkan perkaranya. Hal itu sangat tergantung pada kemampuan lobbi dan berargumentasi dari kuasa hukumnya. Apalagi jika hakim yang menyidangkannya kurang wawasan.

Walaupun pemilik merek itu terkenal dan sudah mendunia, tetapi diperadilan bisa saja kalah. Itu tergantung support. Kalau sudah dipengadilan semua nya tergantung pada kuasa hukum nya. Bila cermat, bisa menang. Tetapi jika ya, begitulah...

Sesuai UU no.19 tahun 1992 maupun RUU perubahan UU mengenai merek yang sedang di bahas DPR din yatakan sengketa merek hanya bisa diadili di pengadilan negeri (PN) Jakata pusat. Ini dengan asumsi, merek itu di daftarkan di Derektorat Merek, Dirjen Hak Cipta, paten dan merek (HCPM) depkeh yang berlokasi di Jakarta pusat.

Sesuai dengan pasal 52 UU no. 19/1992, memang di mungkinkan PN lain memeriksa gugatan merek pula penunjukan ini berdasarkan Keppres (keputusan presiden) tetapi dalam rapat Paripurna DPR yang membahas RUU tentang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) akhir Januari lalu, Menkeh mengaku sampai saat ini belum ada PN lainnya berwenang untuk memeriksa perkara merek.

Pemusatan penanganan perkara merek hanya di PN Jakpus ini bukan tanpa masalah. Apalagi diakui selama penguasaan para hakim kita atas masalah HAKI – merek paten dan hak cipta – masih kurang memadai. Akibatnya , masih ditemui putusan pengadilan dalam soal HAKI yang belum mengembirakan (lihat box)

Insan pun melihat persoalan ini. Dikatakannya di tahun pertama hakim dari daerah yang bertugas di PN Jakpus umumnya tidak mempunyai dasar yang cukup berkaitan dengan masalah HAKI sehingga hakim-hakim ini harus belajar lebih dahulu. Dalam kondisi ini akan sangat sulit di harapkan muncul utusan kasus HAKI – termaksud merek yang baik.

Dalam tahu kedua, hakim itu semakin mengetahui persoalan HAKI, sehingga dia dapat lebih mandiri dan bijak dalam memutus kasus HAKI yang di terimanya.sedangkan tahun ketiga, jika ia semakin baik, putusannya pun semakin diakui masyarakat. Tetapi ada kemungkinan dia dipindah tugaskan.

Sedikit hakim kita yang tidak memperhatikan perkembangan pengetahuan dan wawasannya. Sehingga dia meskipun telah bertugas bertahun-tahun, tidak berkembang juga,“ ucap insan lagi.

Belum lagi, katanya, adanya faktor X yang mempengaruhi putusan pengadilan. Sehingga setiap kali membuat putusan, masyarakat selalu mempertanyakan putusan dari hakim itu. “ dalam kondisi seperti ini, ya wajar saja kalau ada kekhawatiran mengenai perlindungan mereknya dari pihak asing, “ papar Insan.

Tehadap berbagai permasalahan ini, sebenarnya pemerintah sudah tanggap terhadap dalam RUU merek yang lalu, perlindungan merek terkenal juga diperhatikan. Pemalsuan merek tetap dikenai sanksi pidana. Itu tegas diatur. Tinggal sekarang bagaimana aturan itu di implementasikan, dan tidak sekedar menjadi sebuah teori...

Ultrajaya Milk Bayar Utang Rp75 Miliar

Diana Mega Dewi

Jakarta (ANTARA News) - PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk

(Ultrajaya) akan melunasi sebagian utangnya kepada bank sindikasi senilai Rp75miliar.

Dana pelunasan tersebut diperoleh dari pengalihan merek dagang milik perseroan, Buavita dan Gogo, kepada PT Unilever Indonesia Tbk (Unilever) sebesar Rp 400 miliar.
"Dengan pelunasan sebagian utang tersebut, maka saat ini utang kepada bank sindikasi yang tersisa sebesar Rp 255 miliar.

"Sisa perolehan penjualan obyek transaksi (merek dagang Buavita dan Gogo) kami gunakan untuk meningkatkan bisnis utama perseroan," kata Sekretaris Perusahaan Ultrajaya, Eddy Kurniadi di Jakarta Jumjat.

Dia mengatakan, strategi perseroan saat ini menjadi produsen utama dan terbesar produk susu serta minuman dan makanan dalam kemasan aseptic yang tahan lama di Indonesia. Perseroan akan menitikberatkan pada produk inti, Ultra Milk.

Pengalihan merek dagang sudah disetujui pemegang saham pada RUPSLB di Bandung, 3 Desember lalu. Sementara proses pengambilalihan merek dagang dua minuman sari buah dimulai dengan penandatanganan perjanjian bersyarat (Trademarks Assignment Agreement) dengan Unilever pada 6 September 2007.

Perjanjian ini mengenai pengalihan merek dagang berikut hak-hak dan manfaat yang melekat pada merek dagang tersebut dari perseroan kepada Unilever dan juga kerja sama produksi, yaitu perjanjian untuk memproduksi produk dari merek dagang yang dialihkan tersebut. (*)

Jumat, Oktober 24, 2008

Gugatan Dua Perusahaan Asing Ditolak Pengadilan

Bisnis Indonesia, 16 Oktober 2008 (S. Hadysusanto)

Nessia Megawati

JAKARTA: Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan dua perusahaan asing Macroserve Pte Ltd Singapura dan CC Pollen Co AS terhadap Susinto Widianto terkait merek dagang High Desert dan logo HD.

Amar putusan yang dibacakan majelis hakim pimpinan Reno Listowo baru-baru ini menyatakan gugatan tersebut kurang pihak karena tidak melibatkan PT High Desert Indonesia selaku pemegang hak merek dagang tersebut sejak 17 September 2007.

Majelis menyimpulkan, dari fakta hukum yang terungkap di persidangan secara formil merek dagang High Desert dan logo HD di bawah nomor serifikat IDM000123926 telah beralih kepemilikannya dari Susinto Widianto kepada PT High Desert Indonesia. Dengan begitu, kata majelis, sejak 17 September 2007 kepemilikan merek dagang High Desert dan logo HD yang semula atas nama Susinto Widianto selaku tergugat telah beralih kepada PT High Desert Indonesia.

"Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan ke persidangan, serta akta hibah No.28 tertanggal 12 September 2007 telah terjadi pengalihan kepemilikan hak atas merek tersebut kepada PT High Desert Indonesia," kata majelis hakim dalam putusannya. Perubahan kepemilikan merek dagang itu, masih kata majelis, telah diberitahukan secara resmi oleh tergugat kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Depkumham pada 17 September 2007, dan disetujui dengan terbitnya sertifikat pencatatan pengalihan hak.

"Konsekuensi hukum gugatan para penggugat CC Pollen Co dan Macroserver PTE Ltd terhadap Susinto Widianto tidak tepat dan salah karena kurang pihak, di mana seharusnya PT High Desert Indonesia dilibatkan sebagai tergugat," papar majelis hakim di persidangan.

Dalam putusan itu majelis juga menyatakan tidak relevan untuk dipertimbangkan keberatan para penggugat terhadap keabsahan akta hibah No 28 tertanggal 12 September 2007 dan keabsahan pendirian PT High Desert Indonesia.

Sebagai pihak yang kalah dalam kasus tersebut, para penggugat diharuskan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2,813 juta.

Tidak baik

Sebelumnya, gugatan yang diajukan melalui kuasa dari Kantor Hukum Abdullah Loetfi & Co menyatakan bahwa perbuatan tergugat mendaftarkan merek dagang itu merupakan iktikad tidak baik karena dilakukan tanpa izin.

"Merek dagang para penggugat telah didaftarkan oleh tergugat pada 20 Juni 2007 dengan No. IDM000123926 untuk jenis produk food supplement, yang termasuk dalam kelas barang 05," kata Abdullah Loetfi & CO dalam gugatannya.

Padahal, lanjutnya, merek dagang itu adalah merek terkenal di dunia dan telah didaftarkan pertama kali di Amerika Serikat pada 29 September 1981 oleh CC Pollen CO selaku pemilik awal.

Untuk kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, CC Pollen CO memberi kewenangan pandaftaran merek dagangnya kepada Macroserve PtE Ltd.

Namun, tanpa sepengetahuan para penggugat, ternyata tergugat telah mendaftarkan merek High Desert dan logo HD di Direktorat Merk Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM.

Berebut 'Kepala Harimau' di PN Jakarta Pusat
[7/1/08]

Maria Margaretha

Dua perusahaan asal Cina dan Indonesia saling mengklaim kepemilikan merek dagang Tiger Head. Perkara yang hampir mirip pernah diputus Mahkamah Agung.

Guangzhou Flashlight Industrial Corporation (GFIC), perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang Cina, menggugat PT Gunawan Elektrindo (GE) di PN Jakarta Pusat. GFIC menilai merk Tiger Head & Lukisan yang didaftarkan PT GE merupakan jiplakan dari merk Tiger Head milik GFIC.

Tiger Head merupakan merek untuk perkakas lampu senter. Menurut GFIC, merk Tiger Head versi PT GE pada pokoknya memiliki persamaan dengan merk Tiger Head milik GFIC. Padahal, merk Tiger Head milik GFIC telah terdaftar di Cina sejak 1 Oktober 1951 dan diajukan di Indonesia sejak 16 Mei 1977. Sementara itu, PT GE baru mengajukan pendaftaran merk Tiger Head pada 4 Juli 1977.

GFIC yakin sebagai pemilik, pendaftar dan pemakai pertama merek dagang Tiger Head. Merk tersebut, menurut GFIC, merupakan merek terkenal karena telah terdaftar hampir di seluruh dunia. GFIC bahkan mengaku telah menuai penghargaan Standar ISO9001:2000 pada 28 Oktober 2005 dari International Certification Network, untuk desain dan produksi lampu senter, alat penataan rambut, perkakas penerangan, bohlam dan produksi pemurnian air minum.

Penggunaan merk Tiger Head oleh PT GE, menurut GFIC, dilandasi dengan iktikad tidak baik dan tergolong persaingan yang tidak sehat. Selain mengakibatkan konsumen terkecoh, hal itu akan menimbulkan kerugian yang lebih luas bagi kelangsungan usaha GFIC.

Karena itu, mengacu kepada Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 15 Tahun 2001 tantang Merek, GFIC menuntut merek Tiger Head versi PT GE dibatalkan. “Karena Penggugat telah lebih dahulu mengajukan permintaan pendaftarannya di Indonesia, sedang merk dan jenis barang memiliki persamaan pada pokoknya,” kata pengacara GFIC dalam gugatannya. GFIC juga berharap PN Jakarta Pusat menyatakan Tiger Head sebagai merk terkenal.

Di kubu lain, PT GE menolak disebut telah menjiplak merk Tiger Head milik GFIC. PT GE tidak sepakat bila Tiger Head dikategorikan merk terkenal. “Sebelum dipromosikan tergugat, merk Tiger Head tidak dikenal orang. Apalagi kata 'Tiger Head' adalah kata bahasa Inggeris yang umum,” bantah pangacara PT GE, Yanto Jaya.

PT GE mengakui, GFIC mengajukan pendaftaran merk di Indonesia pada 16 Mei 1977. Namun, tandas PT GE, pendaftaran itu baru dikabulkan pada 28 Oktober 1987. Itupun untuk jenis barang bateri, lampu pijar dan obor. “Sedangkan kami mengajukan permohonan perndaftaran pada 4 Juli 1977 dan terdaftar pertama kali pada 13 Januari 1979 untuk jenis barang senter, lampu senter, lampu pijar, dan lampu neon,” ungkap Yanto.

PT GE juga mengakui merk Tiger Head telah terdaftar di Cina pada 1 Oktober 1951, tapi perlindungan hukumnya berakhir pada 30 September 1971. Selain itu, merk tersebut ternyata terdaftar atas nama Guandong Heji Metal Products Factory. “Berarti bukan atas nama penggugat dan tidak ada bukti pengalihan haknya kepada penggugat,” tandas Yanto. Ia menambahkan, GFIC baru mendaftarkan merk Tiger Head di Cina pada 1 Maret 1993 dimana sebelumnya merk Tiger Head

Karena itu, PT GE justru mengklaim sebagai pemilik merk Tiger Head yang terdaftar pertama kali di Indonesia. “Apalagi, tergugat pernah dimenangkan Mahkamah Agung ketika menggugat China National Light Industrial product Imp & Exp Corp,” ungkap Yanto.

Pada 1983, merk Tiger Head memang sudah menjadi rebutan. Saat itu Djajadi Djaja menggugat China National Light Industrial Product Imp & Exp Corp di PN Jakarta Barat. Pada pokoknya, Djajadi Djaja menyatakan merk Tiger Head adalah miliknya. Gugatan ini akhirnya dimenangkan Djajadi Djaja setalah melalui proses yang cukup panjang. Sebab, setelah kalah di PN Jakarta Barat, tergugat membawa persoalan ini hingga kasasi dan Peninjauan Kembali. MA, melalui putusan No. 473 PK/Pdt/1987 tertanggal 26 September 1992, tetap memenangkan Djajadi Djaja.

Merk Tiger Head milik Djajadi Djaja itu kemudian dialihkan kepada PT GE. “Jadi yang terpenting bukan waktu pendaftaran, tapi waktu dikabulkannya pendaftaran,” kata Yanto. Meski agak telat mengajukan pendaftaran merk, toh merk Tiger Head versi PT GE yang terdaftar lebih dulu ketimbang merk Tiger Head versi GFIC.

Perkara No. 56/merek/2007/PN.Niaga.Jkt.Pst ini sudah memasuki babak akhir. Pada 17 Januari nanti kedua kubu akan menyampaikan kesimpulan. Setelah itu sidang yang dipimpin Andriani Nurdin ini bakal dilanjutkan dengan pembacaan putusan.

↔ tugas ini merupakan tugas kelompok ( semester 5 )

Ketua Kelompok : Nessia Meegawati

Anggota : Cecilia Resti F.

Diana Mega Dewi

Maria Margaretha

0 komentar: