BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tidak dapat kita pungkiri bahwa peradaban sudah berubah. Budaya kita, yaitu budaya timur sudah sangat lama dipengaruhi oleh budaya barat, bahkan semenjak negara ini berdiri. Namun, masyarakat belum menyadari hal ini sepenuhnya. Sehingga seakan-akan negara ini mempunyai kepribadian tersendiri. Kepribadian yang mana kita pun tidak tahu. Padahal kita tidak mempunyai kepribadian dari awal. Pun kalau ada, hanya sebagai tameng untuk menutupi sesuatu. Contohnya adalah Pancasila, yang dianggap sebagai pandangan hidup maupun dasar negara.
Pada dasarnya, Pancasila mempunyai cita–cita yang baik. Namun pada perjalanannya, semua itu hanya angan–angan belaka. Bukannya tidak menghargai perjuangan para pejuang
Modernisasi, itulah yang selalu kita persalahahkan apabila sesuatu berubah, baik perubahan yang bersifat positif maupun yang bersifat. Menurut Wilbert E. Moore, modernisasi mencakup suatu trasnsformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti terknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil.
Contohnya saja cara berbusana seseorang. Yang awalnya memakai rok mini merupakan hal yang tabu, namun kini menjadi hal yang biasa. Terlebih lagi pada kaum remaja. Remaja mempunyai arti sebagai etape usia mulai dewasa dan sudah sampai umur kawin. Remaja menganggap bahwa apabila seseorang tidak berpenampilan seksi, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai “anak gaul”. Hal ini mungkin disebut perubahan sosial.
Perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, nilai, dan pola perilaku individu serta kelompoknya.
Keberadaan kaum waria bisa dikatakan diakibatkan oleh perubahan sosial.
Kini, mereka menujukkan eksistensinya di lingkungan masyarakat walaupun masyarakat itu sendiri belum dapat menerima keberadaan mereka dengan berbagai alasan. Sejak kemunculannya keberadaan kaum waria selalu menjadi kontroversi
Pada dasarnya, keberadaan waria ini sudah lama ada. Fenomena ini sudah tidak dapat kita pungkiri. Entah sikap apa yang harus ditunjukkan oleh masyarakat hal itu dikarenakan sejak kemunculannya kaum waria selalu saja menjadi kontroversi.
1.2 Permasalahan
Seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya, permasalahan yang mencuat adalah “Bagaiamana menyikapi fenomena waria ?"
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah yang ada pada karya tulis ini adalah :
1. Apa pengertian dari waria ?
2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya waria ?
3. Terdapat kah Jenis – jenis waria ?
4. Bagaimanakah waria yang berprofesi sebagai penjajah seks komersial di Taman Lawang ?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat untuk mengungkap berbagai karakteristik yang menjelaskan sosok waria dan profesinya secara utuh.
1.5 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tinjauan pustaka dan wawancara narasumber.
1.6 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai pengembangan pembelajaran dan untuk mengetahui lebih lanjut apa yang dimaksud waria. Serta sebagai dasar kajian lebih lanjut bagi para peneliti lain, terutama untuk menjawab permasalahan yang belum terjawab dan tidak terjawab dalam penelitian ini.
1.7 Sistematika
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Metode Penelitian
1.5 Kegunaan Penelitian
1.6 Sistematika
Bab II Pembahasan
2.1 Kerangka Teori
2.2 Analisis
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Waria
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, waria merupakan penyakit seks atau kondisi yang patologis sehingga harus diperangi sering dengan cara membabi buta. Waria distereotifkan negatif sama halnya dengan kaum gay, lesbian dan penjajah seks komersial. Titik tolak penilaian yang sangat ditentutan oleh orientasi seksual ini yang menjadi sebab, sehingga apapun aktivitasnya, selalu waria terlihat aneh—bahkan terkadang seolah sangat menjijikkan
Menurut Suzanne Staggenborg (Gender, Keluarga, dan Gerakan-Gerakan Sosial, 2003) dalam perjalanan sejarah dan dalam lintas budaya, ditemukan bahwa hubungan-hunbungan sesama jenis sudah lama ada. Identitas homoseksual yaitu, gay dan lesbian semakin pesat seiring dengan perkembangan kapitalisme dan peralihan dari masyarakat desa ke
Pada awal abad dua puluh, di dunia barat, di kota-kota besar seperti
Hal tersebut menarik perhatian laki-laki maupun perempuan kelas menengah ke atas dan kelas pekerja untuk mengunjunginya. Dalam kenyataanya, anggota kelas menengah di kota-kota mengambil bagian dalam menyebarluaskan hiburan-hiburan komersial lebih dari satu generasi, tapi orang-orang biasa membiarkan adanya eksperimen lebih jauh terhadap norma-norma publik dalam tingkah laku.
Pada perkembangannya, keingintahuan publik terhadap kaum homoseksualitas sangat besar di tahun 1920-an. Laki-laki gay sangat dicari untuk menjadi penghibur di kelab-kelab malam
Namun dalam konteks liberalisme seksual di tahun 1920-an terdapat ambivalensi besar dalam seksualitas sesama jenis, seperti terlihat, waria sering ditertawakan, ini menunjukkan pengkhianatan karena ada sebuah kesenangan dengan subbudaya gay sekaligus kecemasan terhadap masalah-masalah yang timbul sehubungan dengan peraturan-peraturan heteroseksual.
Arus balik menentang homoseksual pertama kali muncul selama masa depresi, yakni ketika banyak laki-laki yang dikeluarkan dari pekerjaan dan angka rata-rata perkawinan turun drastis sebagai akibat orang-orang muda banyak yang menunda perkawinan karena alasan-alasan finansial. Pada waktu itu para pendidik dan Rohaniawan cemas jikalau hal ini akan menimbulkan “penyelewengan” seksual, dan hilangnya sifat kelaki-lakian.
Fenomena tersebut relevan dengan analisa sang teroritikus revolusioner Foucault, yang menegaskan bahwa femininitas, maskulinitas dan seksualitas adalah “akibat praktek disiplin”, “the effect of discourse”. Maksudnya, menjadi perempuan atau laki-laki adalah murni kontruksi sosial—merujuk Foucault, adalah pendisiplinan yang ditegakkan oleh norma, agama dan hukum—dan tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin.
Secara sosiologis, waria adalah suatu bentuk transgender. Maksudnya adalah mereka adalah kaum yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender di sini mempunyai pengertian; perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki. Waria menentang konstruksi tersebut, yaitu secara fisik dia laki-laki namun dia berpenampilan perempuan. Peran-peran yang diambil pun peran-peran perempuan.
Menurut sejarah, maraknya waria sangat dipengaruhi oleh konteks peralihan sistem ekonomi, seperti contoh di atas, jadi transgender merupakan fenomena yang tidak lepas dari konteks sosial. Pada posisi ini waria, gay dan lesbian bahkan pelacur tidak boleh jika ditempatkan dan dipandang secara misoginis (jijik) serta menjadi bulan-bulanan segudang stereotif negatif yang pada akhirnya merampas hak asasi mereka sebagai manusia pada umumnya.
2.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Seseorang menjadi Waria
Pada dasarnya untuk menjadi kaum seorang waria tidak diinginkan oleh mereka namun apa boleh buat nasib berkata lain. Berikut faktor-faktor menjadi seorang waria :
- sejak kecil sudah mempunyai jiwa keperempuanan;
- terpengaruh oleh lingkungan;
- desakan ekonomi ;
tidak memungkinkan bahwa terdpat faktor-faktor yang lain yang menyebabkan mereka menjadi seorang waria.
2.3 Jenis – Jenis Waria
Maraknya waria ngamen di jalanan menurut Kepala Sub Bagian Rehabilitasi
Tuna Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Drs Waluyo lebih dilatarbelakangi
oleh banyak situasi termasuk tekanan ekonomi. Dalam pandangan Waluyo,
untuk menjelaskan fenomena ini, waria bisa diilustrasikan seperti
piramida.
Kelompok bagian paling atas adalah waria berkelas, jumlahnya sedikit.
Mereka secara ekonomi mandiri, bahkan mungkin kaya. Waria seperti ini
tidak perlu mejeng karena ia bisa 'memelihara' pasangannya. Mungkin
Chenny Chan yang menyandang gelar Queen of Universe 1993 dalam kontes
kecantikan khusus waria sedunia di Los Angles, AS, termasuk di dalamnya.
Lalu ada strata kedua, mereka yang giat 'dinas' malam. Kelompok ini,
kata Waluyo, mejeng karena alasan mencari kepuasan, pada saat yang sama
juga mencari uang sekaligus. Umumnya mereka cantik-cantik. Di malam
hari susah membedakannya dengan wanita beneran. Kecuali kalau suara
menggelegarnya keluar.
Kelompok ketiga, mereka yang menjadi dasar dari piramida, adalah waria
yang sulit untuk mejeng lagi. Bahasa bisnisnya, mereka sudah tidak
marketable, karena sudah tua atau alasan lain. Kelompok inilah
mungkin yang paling banyak beralih profesi menjadi pengamen,
Selain faktor tidak marketable, Waluyo juga menyebutkan laju peningkatan
jumlah waria di ibukota setiap tahunnya kurang lebih 10 persen. Dengan
tidak bertambahnya tempat mejeng, membuat persaingan antarmereka kian
sengit. Ngamen pun dilakoni.
2.4 Waria di Taman Lawang
Keindahan malam
Malam menunjukkan pukul 00.00,
Jalan – jalan protokol seperti di Kuningan pun tak luput dari para pekerja malam ini. Di jembatan Kuningan yang mengelilingi danau kecil merupakan tempat untuk sebagian orang mencari nafkah, jalanan tersebut lebih tepatnya adalah Taman Lawang. Mayotitas masyarakat ketika mendengar Taman Lawang bereaksi tertawa, meledek, atau pun terlihat takut.
Taman Lawang merupakan tempat untuk mencari nafkah para kaum waria yang notabene keberadaan mereka belum bisa diterima di dalam lingkungan masyarakat. Image yang terbentuk bagi kaum waria yang mangkal di Taman Lawang sangatlah buruk. Pantas saja, hal itu disebabkan waria yang mangkal memang bekerja dengan cara menjajakan tubuh mereka. Jika kita melewati daerah tersebut dengan mengendari kendaraan bermotor, maka bersiap-siaplah kendaraan yang kita naiki akan dijegat oleh para waria itu. Dijegat, lalu mereka menari-nari memperlihatkan bagian tubuh mereka, yang biasa kita sebut menari striptis dan kita mengeluarkan kocek Rp.5.000 s.d. Rp. 10.000 agar mereka pergi dari mobil yang kita naiki.
Sebut saja Mutia (17). Ia sudah menggeluti dunia ini semenjak 5 bulan yang lalu, terbilang baru memang. Sebelumnya ia tinggal bersama keluarganya di Lumbuk Lingga,
Pendapatan Mutia sehari tidak tentu, tergantung dari pelanggan yang datang. Semalam bisa mencapai angka Rp.3 jt ( apabila tamunya orang asing ), bisa juga hanya Rp.20rb. Mutia mengaku senang jika pelanggan yang menggunakan jasanya itu merupakan orang asing, karena selain diberikan tarif yang cukup mahal dan orang asing tersebut terkadang tidak segan-segan untuk membelikan dirinya sebuah handphone.
Uang yang dia dapatkan itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Minimal Rp.600rb/bulan harus ia siapkan untuk membayar kost. Sebagian ia tabung sebagian lagi ia kirim ke orangtuanya yang ada di
Mutia memang baru di daerah Taman Lawang, namun pengalaman menjadi waria sudah ia jalani sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar ( SD ). Anak bungsu dari empat bersaudara ini menjadi waria dikarenakan dipengaruhi oleh tingkah laku ketiga kakaknya yang perempuan semua. Ketika duduk di kelas 5 SD, ia pernah mencoba alat rias milik kakaknya secara bersembunyi. Keluarga Mutia pada dasarnya tidak menerima keadaan Mutia sekarang.
Waria kelahiran 17 September 1991 mengaku dirinya pernah ditangkap oleh tramtib. Biasanya waria yang terjaring harus membayar sejulmah uang agar bisa keluar lagi. Rp.200rb bagi waria yang tidak mempuyai KTP, Rp.20rb bagi yang mempunyai KTP. Mutia pun harus rela mengeluarkan kocek rp.200rb agar bisa menghirup udara bebas. Petugas tramtib pun tak luput dari rasa jahil, sering kali waria yang terjaring sering ’dipakai’ oleh oknum pertugas tetapi tetap saja mereka tidak dibebaskan.
Prestasi yang Mutia miliki cukup membanggakan, ia pernah mengikuti Miss.Waria di Jakarta dan mendapatkan predikat sebagai Miss. Terheboh dan Miss.Happy Salma, karena menurut juri wajahnya mirip sekali dengan artis sexy itu. Di Palembang pun ia pernah mengikuti kontes serupa dan ia mendapatkan Juara 3.
Mutia pernah diajak oleh tamunya untuk pergi ke
Untuk pejabat, ia memasang tarif minimal Rp.3jt, suatu ketika pernah teman Mutia dibayar Rp20jt oleh oknum pejabat. Namun untuk tamu regular ia memasang tarif yang berbeda, short time Rp.50rb, longtime Rp. 300rb, dan striptis Rp.20rb. Mutia senang apabila tamu yang datang sudah tua. Hal itu dikarenakan, ia menganggap tamu yang tua mayoritas memiliki uang yang banyak sehingga bisa diperas sesuka hati.
Mutia menjadi bagian dari perkumpulan waria di Jakarta Barat, hal itu dilatarbelangai oleh dirinya yang nge-kost di daerah Slipi. Bekerja di Taman Lawang pun juga penuh perjuangan dan saingan. Persaingan yang ketat untuk mendapatkan tamu sangatlah ketat, wajar saja karena setiap 1 meter ada waria yang mangkal. Sehingga tamu dapat memilih waria sesuai dengan selera masing-masing.
Setiap malam, setiap waria harus mengeluarkan uang sebesar Rp.5rb kepada preman yang menguasi Taman Lawang. Tugas preman itu adalah untuk melindungi para waria yang dijahili oleh tamunya. Namun, jika para waria itu tetangkap polisi atau pun petugas tramtib, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ketua perkumpulan waria setiap wilayah lah yang membela para waria yang tertangkap.
Diperbolehkannya pernikahan sejenis merupakan harapan Mutia saat ini. Ia membedakan kondisi di
Mutia pernah dijuluki Ms. Happy Salma
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa kehadiran kaum waria kini sudah menjadi bagian dari masyarakat Secara sosiologis, waria adalah suatu bentuk transgender. Maksudnya adalah mereka adalah kaum yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender di sini mempunyai pengertian; perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki. Waria menentang konstruksi tersebut, yaitu secara fisik dia laki-laki namun dia berpenampilan perempuan. Peran-peran yang diambil pun peran-peran perempuan.
Waria itu sendiri dibagi menjadi 3 golongan berbentuk piramida. Golongan pertama adalah golongan kelas atas, yang jumlahnya sedikit. Yaitu, waria yang dari awal sudah kaya atau berekonomi mandiri. Kelas kedua adalah waria yang setiap malam ‘dinas’ di tempat-tempat tertentu untuk mencari nafkah dengan cara menjual ‘jasa’ mereka. Kelas ketiga, yang jumlahnya paling banyak merupakan waria yang sudah tidak marketable atau bahasa kasarnya tidak laku lagi. Mereka biasanya ngamen-ngamen di perempatan jalan, lampu merah, dan banyak pula dari mereka yang mengamen keliling.
3.2 Saran
Saran penulis bagi pembaca adalah tentu saja jangan langsung mendiskriminasi waria. Mereka meruapakan korban dari trandsgender yang tentu saja di dalam hati kecil mereka tidak menginginkan hal itu terjadi.
Penjajah jasa kepuasan memang salah satu profesi yang banyak dilakoni oleh kaum waria tersebut namun banyak pula kaum waria yang mencari nafkah dengan cara yang lebih baik, contohnya saja adalah menjadi pekerja di salon, make -up artist, designer, dan sebagainya.

0 komentar:
Posting Komentar