Selasa, 07 April 2009

Pendidikan di Indonesia Masih Mengutamakan Pengajaran

Pendidikan di Indonesia Masih Mengutamakan Pengajaran

Kelemahan sistem pendidikan nasional Indonesia terletak pada pola implementasinya yang lebih menekankan pada pengajaran bukan pada pendidikan. Demikian yang diungkapkan oleh Pengamat Pendidikan Arief Rahman sehubungan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Jumat di Jakarta.

Menurut Arief, mengajar dan mendidik memiliki definisi yang berbeda. Mengajar adalah proses mentranfer ilmu pengetahuan, sedangkan mendidik membentuk watak, sikap, moral, dan pola pikir. Dengan demikian, mengajar belum tentu mendidik Yang dihasilkan dari pengajaran hanyalah bersifat kecerdasan, tetapi belum tentu menjamin terbentuknya budi pekerti.

“Padahal tidak hanya pintar yang dibutuhkan. Jangan cuma menekankan pengajaran, ini berbahaya, ” tutur Arief.

Apabila sistem pengajaran tetap ditonjolkan, tambahnya, fenomena yang terjadi sekarang akan terus terjadi, di mana banyak pejabat memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, namun melakukan tindakan yang tercela seperti korupsi.

“Ini membuktikan, bahwa kecerdasan otak seringkali tak koheren dengan kecerdasan nurani. Percuma bila sekedar cerdas tapi moral bobrok, ” ungkap Arief.

Selain sistem pendidikan, Arief juga mengkritisi kualitas guru yang masih rendah. Ia menyatakan, ditingkat pendidikan guru saja, pembinaan yang diberikan terhadap calon guru masih sangat lemah, pada saat melakukan program kerja lapangan (PKL).

Menurut Arief, saat PKL di mana mahasiswa turun ke lapangan untuk mengajar di sekolah-sekolah, para mahasiswa itu masih juga sekadar berkutat dengan proses belajar mengajar, tanpa arah didikan fundamental kepada murid-muridnya. “Jadi yang pertama kali perlu digodok itu gurunya, ” imbuh Arief

Pentingnya Pendidikan Ahlak dalam Proses Belajar

“Ada satu hal yang saya pikir harusnya dihembuskan di dalam pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan 2008 ini yaitu tujuan Undang-Undang kita bahwa membentuk anak didik yang berakhlak mulia dan berbudi luhur. Itu tidak keluar sama sekali," Ungkap Arief, Pengamat Pendidikan dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan 2008, Senin-Rabu (4-6/2 ) di Depok.

Menurutnya, ada yang kurang yang belum dibicarakan dalam acara tersebut, terutama soal moral. Semuanya hanya memperhatikan hal-hal yang standarnya internasional, ISO dan Olimpiade Internasional. Sebenarnya, standar internasional tidak menyapa ketakwaan, tatakrama, dan budi pekerti.

“ Karena yang terukur itu yang rangking, nilai. Tetapi yang tidak terukur adalah akhlak. Kalau saya perhatikan saya sebetulnya menginginkan di dalam program pendidikan ini tekanan kepada akhlak, tekanan kepada budi pekerti, tekanan kepada rasa kebangsaan, nasionalisme harus lebih kuat. Terutama di dalam menghadapi era globalisasi seperti sekarang ini. Mendikmas sendiri mengatakan yang kurang harus diselesaikan” Papar Arief

Arief mengungkapkan bahwa akhlak merupakan tata kelola. Pencapaian akademis tidak dilakukan oleh orang yang berakhlak. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus-kasus korupsi yang ada. Para koruptor itu adalah orang yang cerdas bukan orang bodoh.

Arief berharap di dalam proses pendidikan nantinya lebih menekankan pada hal-hal yang sifatnya moral dan agama bukan hanya pada nilai-nilai akademis saja.

Masalah – Masalah Pendidikan di Indonesia

Persoalan utama yang membuat pendidikan di Indonesia tertinggal jauh adalah kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan ( yang sebenarnya sudah cukup baik ) di lapangan yang disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru yang berbobot untuk mengajar di daerah, demikian, Prof. Nelson Tansu, PhD saat diwawancara oleh Pembelajar.com di Jakarta.

Menurut Nelson, sebenarnya kurikulim Indonesia tidaklah kalah dari kurikulum maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Implementasi pendidikan yang kurang benar.

“ Kurang sadarnnya masyarakat mengenai betapa pentingya pendidik dalam membentuk generasi mendatang sehingga profesi ini tidak begitu dihargai dan dipandang sebelah mata.” tegas pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini.

Kultur belajar bukanlah masalah utama, tambahnya, tetapi kultur masyarakat secara keseluruhan karena tidak disadarinya pendidikan adalah investasi bangsa.

Nelson juga mengkritisi pemerintah sering bergonta-ganti sistem pendidikan tergantung situsi politik, padahal itu bukanlah masalah utama, yang menjadi masalah utama adalah pelaksanaan di lapangan.

Di sisi lain, uncap Nelson, terbatasnya fasilitas untuk pembelajaran baik bagi pengajar dan yang belajar juga menjadi masalah. Hal tersebut dikarenakan terkait terbatasnya dana pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.

Nelson berpendapat, semua masalah itu sudah disadari oleh semua pihak mulai dari pakar pendidikan, pemerintah, dan orang tua siswa/mahasiswa. “ Namun tetap saja mereka terkesan terutama pemerintah terkesan enggan untuk mengivestasikan APBN-nya untuk pendidikan” heran Nelson.

Banyak sekali kegiatan yang dilakukan Depdiknas untuk meningkatkan bobot guru, tetapi tindak lanjut yang nol besar dari kegiatan semacam penataran, sosialisasi, dan lain-lain. Yang terkesan adalah yang penting kegiatan itu terlaksana selanjutnya terserah mau kinerja lebih baik atau tidak, mereka tidak peduli, ungkapnya

“Jika kondisi semacam itu tidak diubah untuk dibenahi kecil harapan pendidikan bisa lebih maju/baik. Pendidikan jika dipolitisir maka sampai kapanpun pendidikan Indonesia sulit untuk maju. Yah memang ada beberapa sekolah sudah terpandang, namun dibandingkan populasi sekolah yg ada sangat tidak singnifikan” tukas Nelson

Nelson menambahkan, selama ini ada kesan yang kuat bahwa pendidikan yang berkualitas harus bermodal tinggi/berbiaya besar. Tetapi oleh pemerintah itu tidak ditanggapi, hal itu bisa kita lihat dari anggaran pendidikan dalam APBN.

“ Padahal semua tahu bahwa pendidikan akan membaik jika gurunya berbobot dan cukup dana untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran” tegas Nelson.

0 komentar: