Striptis 20 ribu aja mas…..
Keindahan malam kota Jakarta yang dipenuhi dengan lampu-lampu jalan dan lampu gedung-gedung pencakar langit memang patut untuk dinikmati. Berbagai macam cara masyarakat ibu kota itu untuk menikmati indahnya malam kota Jakarta. Adanya pergi bersama keluarga, berpesta dengan teman, atau pun sekedar berkumpul bersama dengan teman-teman.
Malam menunjukkan pukul 00.00, Jakarta terasa begitu sepi, jalanan yang setiap pagi, siang, dan sore hari begitu macet, pada jam tersebut jalanan sangat lancar, tidak terlihat antrian kendaraan bermotor. Hal itu tentu saja disebabkan masyarakat ibu kota dan sekitarnya sedang beristirahat setelah kepenatan aktivitas yang menumpuk. Namun bagi sebagian orang, pukul 00.00 merupakan waktu di mana mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Jalan – jalan protokol seperti di Kuningan pun tak luput dari para pekerja malam ini. Di jembatan Kuningan yang mengelilingi danau kecil merupakan tempat untuk sebgaian orang mencari nafkah, jalanan tersebut lebih tepatnya adalah Taman Lawang. Mayotitas masyarakat ketika mendengar Taman Lawang bereaksi tertawa, meledek, atau pun terlihat takut.
Taman Lawang merupakan tempat untuk mencari nafkah para kaum waria yang notabene keberadaan mereka belum bisa diterima di dalam lingkungan masyarakat. Image yang terbentuk bagi kaum waria yang mangkal di Taman Lawang sangatlah buruk. Pantas saja, hal itu disebabkan waria yang mangkal memang bekerja dengan cara menjajakan tubuh mereka. Jika kita melewati daerah tersebut dengan mengendari kendaraan bermotor, maka bersiap-siaplah kendaraan yang kita naiki akan dijegat oleh para waria itu. Dijegat, lalu mereka menari-nari memperlihatkan bagian tubuh mereka, yang biasa kita sebut menari striptis dan kita mengeluarkan kocek Rp.5.000 s.d. Rp. 10.000 agar mereka pergi dari mobil yang kita naiki.
Sebut saja Mutia (17). Ia sudah menggeluti dunia ini semenjak 5 bulan yang lalu, terbilang baru memang. Sebelumnya ia tinggal bersama keluarganya di Lumbuk Lingga, Palembang. Sudah dua tahun ia tidak pulang ke kampung halamanya itu. Mencari kesuksesan merupakan tujuan Mutia berurbanisasi ke Jakarta. Ia biasa ‘mangkal’ di belakang Mesjid Sunda Kelapa bersama teman-temannya.
Pendapatan Mutia sehari tidak tentu, tergantung dari pelanggan yang datang. Semalam bisa mencapai angka Rp.3 jt ( apabila tamunya orang asing ), bisa juga hanya Rp.20rb. Mutia mengaku senang jika pelanggan yang menggunakan jasanya itu merupakan orang asing, karena selain diberikan tarif yang cukup mahal, orang asing tersebut terkadang tidak segan-segan untuk membelikan dirinya sebuah handphone.
Uang yang dia dapatkan itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Minimal Rp.600rb/bulan harus ia siapkan untuk membayar kost. Sebagian ia tabung sebagian lagi ia kirim ke orangtuanya yang ada di Palembang. Sangat ironis, uang yang ia kirim untuk membantu ekonomi keluarganya ia dapatkan dengan cara yang tidak halal dan keluarganya pun tidak mengetahui hal itu. Keluarganya hanya tahu bahwa anaknya bekerja salesman bukan sebagai waria yang menjual ‘jasa’. Terkadang muncul perasaan bersalah, namun apa daya, di dalam benaknya Mutia ingin memiliki uang yang banyak dengan cara yang instant. Orangtuanya yang bekerja sebagai petani juga menjadi motivasi untuk dirinya tidur di atas kasur spring bed dengan ac di kamarnya.
Mutia memang baru di daerah Taman Lawang, namun pengalaman menjadi waria sudah ia jalani sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar ( SD ). Anak bungsu dari empat bersaudara ini menjadi waria dikarenakan dipengaruhi oleh tingkah laku ketiga kakaknya yang perempuan semua. Ketika duduk di kelas 5 SD, ia pernah mencoba alat rias milik kakaknya secara bersembunyi. Keluarga Mutia pada dasarnya tidak menerima keadaan Mutia sekarang.
Waria kelahiran 17 September 1991 mengaku dirinya pernah ditangkap oleh tramtib. Biasanya waria yang terjaring harus membayar sejulmah uang agar bisa keluar lagi. Rp.200rb bagi waria yang tidak mempuyai KTP, Rp.20rb bagi yang mempunyai KTP. Mutia pun harus rela mengeluarkan kocek rp.200rb agar bisa menghirup udara bebas. Petugas tramtib pun tak luput dari rasa jahil, sering kali waria yang terjaring sering ’dipakai’ oleh oknum pertugas tetapi tetap saja mereka tidak dibebaskan.
Prestasi yang Mutia miliki cukup membanggakan, ia pernah mengikuti Miss.Waria di Jakarta dan mendapatkan predikat sebagai Miss. Terheboh dan Miss.Happy Salma, karena menurut juri wajahnya mirip sekali dengan artis sexy itu. Di Palembang pun ia pernah mengikuti kontes serupa dan ia mendapatkan Juara 3.
Mutia pernah diajak oleh tamunya untuk pergi ke Thailand dengan tujuan untuk dioperasi kelaminnya. Namun, ia menolak itu ia takut karena kalau terjadi apa-apa di Thailand tidak akan ada yang menolong dan tidak ada yang harus dimintai bantuan. Padahal untuk biaya operasi kelamin mencapai Rp. 30jt, angka yang fantastis! Tentu saja Mutia membutuhkan waktu yang lama untuk mengumpulkan uang sejumlah Rp.30jt. Terkecuali tamunya adalah para pejabat. Untuk pejabat, ia memasang tarif min Rp.3jt, suatu ketika pernah teman Mutia dibayar Rp20jt oleh oknum pejabat. Namun untuk tamu regular ia memasang tarif yang berbeda, short time Rp.50rb, longtime Rp. 300rb, dan striptis Rp.20rb. Mutia senang apabila tamu yang datang sudah tua. Hal itu dikarenakan, ia menganggap tamu yang tua mayoritas memiliki uang yang banyak sehingga bisa diperas sesuka hati.
Mutia menjadi bagian dari perkumpulan waria di Jakarta Barat, hal itu dilatarbelangai oleh dirinya yang nge-kost di daerah Slipi. Bekerja di Taman Lawang pun juga penuh perjuangan dan saingan. Persaingan yang ketat untuk mendapatkan tamu sangatlah ketat, wajar saja karena setiap 1 meter ada waria yang yang mangkal. Sehingga tamu dapat memilih waria sesuai dengan selera masing-masing.
Setiap malam, setiap waria harus mengeluarkan uang sebesar Rp.5rb kepada preman yang menguasi Taman Lawang. Tugas preman itu adalah untuk melindungi para waria yang dijahili oleh tamunya. Namun, jika para waria itu tetangkap polisi atau pun petugas tramtib, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ketua perkumpulan waria setiap wilayah lah yang membela para waria yang tertangkap.
Diperbolehkannya pernikahan sejenis merupakan harapan Mutia saat ini. Ia membedakan kondisi di Indonesia dengan Thailand, di mana Thailand memperbolehkan pernikahan sesama jenis dan masyarakatnya sudah mulai menerima keberadaan waria. Tentu saja untuk di Indonesia hal itu hanyalah harapan belaka. Selain itu, Mutia menginginkan keberadaan kaum waria dihargai, tidak dipandang sebelah mata, dan tidak didiskriminasi, “ waria juga manusia mbak”, ujar waria yang mempunya nama asli Doddi Saputra ini.

0 komentar:
Posting Komentar